- -
- 100%
- +
“Aku percaya padamu,” katanya, pelan.
“Benarkah?” tanya Thor.
Merek mengangguk.
“Lagi pula, jika kau ingin meracuni Raja, mengapa harus bertindak bodoh dengan memberitahunya?”
Merek membalikkan tubuhnya dan menjauh, beberapa langkah menuju sisi lain dari sel dan bersandar ke dinding, duduk menghadap ke arah Thor.
Kini Thor menjadi penasaran.
“Mengapa kau ada di sini?” tanyanya.
“Aku pencuri,” jawab Merek, dengan sedikit bangga.
Thor tertegun; ia tak pernah berjumpa dengan seorang pencuri sebelumnya, seorang pencuri sungguhan. Ia tak pernah membayangkan dirinya akan mencuri, dan selalu heran mengapa ada orang yang benar-benar melakukannya.
“Mengapa kau melakukannya?” tanya Thor.
Merek menggelengkan kepalanya.
“Keluargaku tak punya makanan. Mereka harus makan. Aku tak pernah belajar apapun, tak punya keahlian tentang hal apapun. Mencuri adalah satu-satunya yang aku tahu. Tak lebih. Hanya makanan. Apapun kulakukan untuk mendapatkannya. Dan aku sudah melakukannya selama bertahun-tahun. Lalu aku tertangkap. Ini adalah ketiga kalinya aku tertangkap. Dan inilah yang terburuk.”
“Mengapa?” tanya Thor.
Merek terdiam, lalu perlahan menundukkan kepalanya. Thor dapat melihat matanya meneteskan air mata.
“Hukum raja sangat ketat. Tak ada perkecualian. Karena sudah tiga kali melanggar hukum, maka mereka akan memotong tanganmu.”
Thor merasa ngeri. Ia menatap ke bawah ke arah tangan Merek; masih lengkap keduanya.
“Mereka memang belum memotong tanganku,” kata Merek. “Tapi mereka pasti akan melakukannya.”
Thor merasa sedih. Merek memalingkan wajahnya, tampaknya ia merasa malu. Thor juga memalingkan muka, tak ingin memikirkan tentang hal itu.
Thor menundukkan kepala di atas tangannya, kepalanya terasa berputar, mencoba menyatukan semua kepingan di dalam pikirannya. Hari-hari belakangan ini berlalu seperti angin puyuh, banyak hal yang terjadi begitu cepat. Di sisi lain, ia merasakan sebuah keberhasilan, sebuah pengungkapan: ia telah berhasil melihat masa depan, telah dapat meramalkan upaya pembunuhan terhadap MacGil, dan telah menyelamatkannya dari hal itu. Mungkin nasib dapat diubah - mungkin takdir bisa dihalau. Thor merasakan sebuah kebanggaan: ia berhasil menyelamatkan nyawa rajanya.
Di sisi lain, saat ini ia sedang ada di sini, di penjara bawah tanah, dan tak mampu membersihkan namanya. Semua harapan dan mimpinya memudar, semua kesempatan untuk bergabung dengan Legiun menjadi sirna. Kini ia akan sangat beruntung dengan tidak menghabiskan seumur hidupnya di sini. Ia merasa sedih saat memikirkan tentang MacGil, yang telah menjadi sosok ayah baginya, satu-satunya ayah yang pernah dimilikinya, mengira Thor akan membunuhnya. Ia sangat sedih memikirkan Reece, sahabatnya, mungkin percaya bahwa ia telah mencoba membunuh ayahnya. Lebih buruk lagi, Gwendolyn. Ia mengingat pertemuan terakhir mereka – saat gadis itu mengira ia sering mengunjungi rumah bordil – dan ia merasa semua hal terindah dalam hidupnya telah dicabut darinya. Ia heran mengapa semua ini terjadi padanya. Lagi pula, ia hanya ingin melakukan sesuatu yang baik.
Thor tak tahu hal apa yang akan menimpanya; ia pun tak peduli. Ia hanya ingin membersihkan namanya, agar orang-orang tahu bahwa ia tak pernah mencoba menyakiti raja; bahwa ia memang memiliki kekuatan alami, dan bahwa ia memang benar-benar dapat melihat masa depan. Ia tak tahu apa yang akan terjadi padanya, tapi ia tahu satu hal: ia harus keluar dari tempat ini. Apapun caranya.
Sebelum Thor mengakhiri lamunannya, ia mendengar suara langkah kaki, sepatu bot yang berat menapaki lantai batu koridor; terdengar gemerincing kunci, kemudian tampaklah si penjaga penjara, orang yang telah menyeret Thor dan memukul wajahnya. Saat melihatya, Thor baru menyadari rasa sakit di pipinya, dan merasa muak terhadapnya.
“Hei, bukankah itu anak tengik yang mencoba membunuh Raja,” dengus sipir sambil memutar anak kunci. Setelah beberapa putaran, ia memegang pintu dan membukanya. Ia memegang rantai di tangannya, dan sebuah kapak kecil menggantung di pinggangnya.
“Kau akan mendapat hukumanmu,” seringainya kepada Thor, lalu ia memandang Merek, “tapi sekarang adalah giliranmu, pencuri kecil. Tiga kali,” katanya sambil tersenyum jahat. “tanpa kecuali.”
Ia berjalan ke arah Merek, meraihnya dengan kasar, merenggut satu lengan di belakang punggungya, mengikatkan rantai kepadanya dan sisi lain rantai ke sebuah pengait di dinding. Merek menjerit, berusaha melepaskan diri dari belenggu; namun semua itu sia-sia. Sipir itu berjalan medekatinya dan meraihnya, memegang tubuhnya erat-erat, menarik satu lengan yang tidak dirantai, dan menempatkannya di sebuah tatakan batu.
“Ini akan membuatmu kapok mencuri,” seringainya.
Ia mengambil kapak dari ikat pinggangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya, mulutnya terbuka lebar, dan menampakkan barisan gigi yang tak karuan dalam mulutnya.
“JANGAN!”seru Merek.
Thor terduduk di sana, merasa ngeri, tubuhnya membeku ketika sipir penjara mengangkat senjatanya untuk memotong pergelangan tangan Merek. Thor menyadari bahwa dalam beberapa detik, tangan bocah malang ini akan diambil untuk selamanya, karena ia telah mencuri makanan, demi membantu keluarganya. Ketidakadilan itu telah membuatnya mendidih, Thor tahu ia tak bisa tinggal diam.
Thor merasa sekujur tubuhnya menjadi panas, dan sesuatu telah terbakar dalam dirinya, naik dari telapak kaki hingga ke telapak tangannya. Ia merasa waktu seperti melambat, merasakan dirinya bergerak lebih cepat daripada si penjaga penjara, merasakan berlalunya tiap detik saat kapak si sipir membeku di udara. Thor merasakan suatu bola energi panas dalam telapak tangan dan melemparkannya ke arah si sipir penjara.
Ia memandang dengan takjub ke arah bola kuning yang meuncur dari telapak tangannya ke udara, menyinari sel yang gelap dan meninggalkan jejak cahaya di belakangnya – lalu jatuh tepat di wajah si sipir. Cahaya itu jatuh tepat di kepalanya, membuat kapak terjatuh dari tangannya dan terlempar ke sisi lain sel, membentur dinding dan terjatuh. Thor menyelamatkan Merek, hanya beberapa detik sebelum kapak menyentuh pergelangan tangannya.
Merek memandang Thor dengan mata terbelalak.
Penjaga penjara menggelengkan kepalanya dan bangkit, mencoba mendekati Thor kembali. Namun Thor merasakan kekuatan masih membakar tubuhnya, dan ketika sipir penjara berdiri di hadapannya, Thor berlari ke arahnya, melompat dan menendang tepat di dadanya. Thor merasakan sebuah kekuatan yang tak ia ketahui menjalar ke seluruh tubuhnya dan ia mendengar keributan ketika tendangannya membuat pria itu terlempar ke uadara, membentur dinding dan tersungkur di lantai, tak sadarkan diri.
Merek berdiri di sana, terkejut, dan Thor tahu persis apa yang harus ia lakukan. Ia mengambil kapak, bergegas menuju Merek dan memotong rantai yang membelenggunya. Kepingan besi beterbangan ke udara saat rantai besi itu terputus. Merek mengedipkan matanya, lalu mengangkat kepalanya dan memandang rantai yang berserakan di bawahnya, menyadari bahwa ia telah bebas.
Ia menatap Thor, dengan mulut terbuka lebar.
“Aku tak tahu bagaimana caraku berterima kasih,” kata Merek. “Aku tak tahu bagaimana kau melakukannya, apapun itu, atau siapa kau - atau makhluk apakah kau - tapi kau telah menyelamatkanku. Aku berhutang padamu. Dan aku tak akan pernah melupakannya.”
“Kau tak berhutang apapun padaku,” kata Thor.
“Salah,” kata Merek, meraih dan menepuk lengan Thor. “Kau adalah saudaraku sekarang. Dan aku akan membalas kebaikanmu. Apapun caranya. Suatu saat nanti.”
Sesudah mengatakan itu, Merek membalikkan tubuhnya, berlari menuju pintu sel yang terbuka dan berlari menyusuri koridor, diiringi teriakan para tahanan.
Thor memandang sekeliling, menatap penjaga yang pingsan, dan pintu sel yang terbuka. Ia tahu ia harus segera meninggalkan tempat itu. Kali ini teriakan para tahanan terdengar lebih bergemuruh.
Thor melangkah keluar, menatap ke dua arah di depannya, dan memutuskan mengambil arah yang berlawanan dengan Merek. Lagi pula, mereka tak akan dapat menangkapnya dan Merek secara bersamaan.
BAB TIGA
Thor berlari sepanjang malam, melalui jalanan Istana Raja yang riuh rendah, terheran-heran pada keributan di sekitarnya. Jalan-jalan sangat padat, kerumunan orang-orang bergegas dan bercampur baur dalam gelisah. Banyak obor dibawa, menerangi malam, tatapan sedih tampak di wajah, sementara lonceng kastil berdentang tak henti-hentinya. Itu adalah dentang yang sedih, datang sekali satu menit, dan Thor tahu apa artinya itu: kematian. Lonceng kematian. Dan malam ini lonceng itu hanya akan berdentang untuk satu orang: Sang Raja.
Hati Thor berdebar saat ia bertanya-tanya. Belati dari mimpinya melintas di depan matanya. Apakah hal itu menjadi kenyataan?
Dia harus mengetahui kebenarannya. Dia mengulurkan tangan dan meraih pejalan kaki, anak laki-laki berjalan ke arah yang berlawanan.
“Mau ke mana kau?” tanya Thor. “Apa yang terjadi?”
“Tak tahukah kau?” seru anak laki-laki itu panik. “Raja kita sedang sekarat! Ia ditusuk! Orang-orang pergi ke gerbang Istana untuk mengetahui kebenarannya. Jika itu benar, maka sesuatu yang buruk akan menimpa kita. Bisakah kau bayangkan? Sebuah kerajaan yang tanpa raja?”
Seusai mengatakannya, anak laki-laki itu melepaskan diri dari Thor, berbalik dan berlari kembali di kegelapan malam.
Thor berdiri di sana, hatinya berdebar-debar, tak ingin memahami kenyataan di sekitarnya. Mimpinya, firasatnya - semuanya lebih dari sekedar angan-angan. Ia telah melihat masa depan. Dua kali. Dan itu membuatnya takut. Kekuatannya lebih besar daripada yang ia kira, dan semakin kuat seiring dengan bergantinya hari. Akan kemanakah akhir semua ini?
Thor berdiri di sana, mencoba berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan. Ia telah berhasil lolos, tapi tak tahu akan kemanakah ia sekarang. Tentu saja semua pengawal kerajaan – dan seisi Istana Raja- akan berusaha mencarinya. Fakta bahwa Thor telah melarikan diri akan membuatnya tampak bersalah. Namun MacGil telah ditusuk ketika Thor berada di penjara – bukankah hal itu akan meringankannya? Atau malah akan membuatnya tampak menjadi bagian dari sebuah konspirasi?
Thor tak memiliki sebuah kesempatan pun. Sudah jelas bahwa tak seorang pun di kerajaan bersedia mendengarkan penjelasan rasional – tampak bahwa setiap orang di sekitarnya telah mengetahui pembunuhan itu. Dan ia mungkin akan menjadi kambing hitamnya. Tempat yang paling aman adalah yang terjauh dari sini. Ia seharusnya pergi, bersembunyi di pedesaan – atau mungkin lebih jauh lagi, sejauh mungkin yang ia bisa.
Tapi Thor tak ingin melarikan diri; itu bukanlah sifatnya. Ia ingin berada di sini, untuk membersihkan namanya, dan mempertahankan posisinya di Legiun. Ia bukanlah penakut, dan ia tidak akan lari. Terlebih lagi, ia ingin bertemu dengan MacGil sebelum ia wafat – dengan memperkirakan kemungkinan bahwa ia masih hidup saat ini. Ia harus menemuinya. Ia merasa bersalah karena tak dapat menggagalkan pembunuhan itu. Mengapa ia harus mendapatkan penglihatan tentang kematian raja jika ia tak dapat menghentikannya? Dan mengapa ia bisa mengetahui bahwa raja akan diracun, meski faktanya ia telah ditikam?
Ketika Thor sibuk berdebat dengan dirinya sendiri, terbayanglah sebuah nama: Reece. Reece adalah seseorang yang ia yakin tak akan menyeretnya ke pengadilan, bahkan mungkin ia dapat membantunya menyembunyikan diri. Ia merasa Reece akan percaya padanya. Ia tahu bahwa kasih sayang Thor tulus pada ayahnya. Dan jika ada seseorang yang punya kemampuan membersihkan namanya, orang itu adalah Reece. Ia harus mencarinya.
Thor berlari cepat kembali menyusuri lorong, berputar dan berbalik melawan kerumunan untuk menghindari Pintu Gerbang Kerajaan, menuju kastil. Ia tahu di mana kamar Reece – di bagian paling timur, dekat dengan dinding terluar kota – dan ia hanya bisa berharap bahwa Reece sedang berada di dalam kamarnya. Jika memang demikian, mungkin ia dapat menarik perhatiannya, membantunya mencari jalan masuk menuju kastil. Thor merasa cemas kalau ia terlalu lama berkeliaran di sini, di jalan, ia akan dengan cepat dikenali. Dan pada saat kerumunan orang itu mengenalinya, mereka mungkin akan mencabik-cabiknya.
Sesudah Thor menyusuri jalan demi jalan, kakinya terpeleset lumpur di kegelapan malam musim panas. Akhirnya ia sampai di dinding batu terluar benteng kerajaan. Ia menempelkan tubuhnya di sepanjang dinding, persis di bawah mata para penjaga yang berdiri dengan jarak tertentu.
Ketika ia telah mendekati jendela kamar Reece, ia membungkuk dan mengambil sebuah batu yang licin. Untunglah, satu-satunya senjata yang tidak diambil para penjaga penjara darinya adalah ketapel lamanya. Ia mengambil ketapel itu dari pinggangnya, menempatkan batu di dalamnya dan menembakkannya.
Dengan tembakan sempurna itu Thor berhasil melemparkan batu melampaui dinding kastil dan mendarat dengan sempurna di dalam jendela kamar Reece yang terbuka. Thor mendengarnya bergemeletak di dinding bagian dalam, lalu ia menunggu, membungkukkan tubuhnya di sepanjang dinding agar keberadaannya tak terdeteksi pengawal Raja yang curiga mendengar suara itu.
Tak terjadi apapun selama beberapa saat. Jika memang benar-benar tak terjadi apapun, maka Thor harus meninggalkan tempat itu; karena tak ada cara mendapatkan perlindungan. Ia menahan napas, jantungnya berdebar, sambil menunggu dan melihat ke arah jendela Reece yang terbuka.
Waktu seperti berjalan sangat lama, Thor baru saja hendak meninggalkan tempat itu ketika ia melihat sesosok tubuh menjulurkan kepalanya keluar dari jendela, membuka jendela lebar-lebar dan memandang sekitarnya dengan bertanya-tanya.
Thor berdiri, mengambil beberapa langkah menjauhi dinding, dan melambaikan satu lengannya tinggi-tinggi.
Reece memandang ke bawah dan melihatnya. Wajahnya berbinar saat melihat Thor, sangat jelas diterpa cahaya obor bahkan di kejauhan ini. Dan Thor merasa lega karena melihat keceriaan di wajahnya, yang membuatnya yakin bahwa Reece tak akan menjebloskannya ke penjara lagi.
Reece memberikan tanda untuk menunggu, dan Thor bergegas menuju dinding, membungkuk serendah mungkin sampai penjaga menjauhi tempat itu.
Thor tak tahu ia telah menunggu untuk berapa lama, siaga setiap saat untuk menjauhi para penjaga, sampai akhirnya Reece muncul, melesat lewat sebuah pintu di dinding terluar, menahan napasnya dan melihat ke sekeliling mencari Thor.
Reece berlari ke arahnya dan memeluknya. Thor merasa sangat lega. Ia mendengar suara mengeong, dan melihat ke bawah dengan gembira ke arah Krohn, yang bersembunyi di balik baju Reece. Krohn hampir saja melompat keluar dari baju Reece ketika Reece meraih dan mengulurkannya ke arah Thor.
Krohn – macan tutul putih yang telah Thor selamatkan - melompat ke dalam pelukan Thor, mengeong dan menjilati wajah Thor.
Reece tersenyum.
“Saat mereka memasukkanmu ke penjara, ia mencoba mengikutimu, dan aku membawanya supaya ia aman bersamaku.”
Thor menepuk bahu Reece dengan penuh rasa terima kasih. Lalu ia tertawa karena Krohn terus menjilatinya.
“Aku merindukanmu juga, Nak,” Thor tertawa dan menciumnya kembali. “Tenanglah sekarang, atau para penjaga akan mendengar kita.”
Krohn terdiam, sekana ia memahami kata-kata Thor.
“Bagaimana caramu melarikan diri?” tanya Reece heran.
Thor menggeleng. Ia tak yakin harus mengatakan apa. Ia masih merasa tak enak menceritakan tentang kekuatannya, yang ia pun tak bisa memahaminya. Ia tak ingin orang lain mengira dirinya semacam orang gila.
“Kurasa aku hanya beruntung,” jawabnya. “Aku melihat sebuah kesempatan dan aku lari.”
“Aku heran orang-orang di sana tidak mengeroyokmu,” kata Reece.
“Mungkin karena gelap,” kata Thor. “Mungkin tak seorang pun mengenaliku. Mungkin belum, kurasa.”
“Apakah kau tahu kalau semua prajurit di kerajaan ini mencarimu? Tahukah kau bahwa ayahku telah ditikam?”
Thor mengangguk, serius. “Apakah ia baik-baik saja?”
Reece menundukkan wajahnya.
“Tidak,” jawabnya dengan muram. “Ia sekarat.”
“Kau tahu ‘kan kalau aku tak melakukannya?” tanya Thor, berharap. Ia tak peduli dengan anggapan orang, tapi ia butuh sahabatnya, putra termuda MacGil, untuk yakin bahwa ia tak bersalah.
“Tentu saja,” kata Reece. “Kalau tidak aku tak akan berdiri di sini.”
Thor merasakan dadanya meluap dengan kelegaan, dan ia merangkul pundak Reece sebagai rasa terima kasih.
“Tapi seluruh kerajaan tak berpendapat sama sepertiku,” lanjut Reece. “Tempat teraman untukmu adalah sejauh mungkin dari tempat ini. Aku akan memberimu kudaku yang paling cepat, suplai makanan, dan mengirimmu ke tempat yang jauh. Kau harus bersembunyi sampai semuanya berakhir, sampai mereka menemukan pembunuh yang sebenarnya. Tak seorang pun dapat berpikir jernih sekarang.”
Thor menggelengkan kepalanya.
“Tidak bisa,” katanya. “Itu hanya akan membuatku tampak semakin bersalah. Aku ingin semua tahu bahwa bukan aku pelakunya. Aku tak bisa melarikan diri dari masalah. Aku harus membersihkan namaku.”
Reece menggelengkan kepalanya.
“Jika kau etap di sini, mereka akan menemukanmu. Kau akan dijebloskan ke penjara lagi – dan dihukum mati – itu pun jika kau tidak dikeroyok oleh massa duluan.”
“Itu adalah resiko yang harus kuambil,” kata Thor.
Reece memandangnya tajam dan lama, dan pandangannya berubah dari iba menjadi pujian. Akhirnya ia mengangguk perlahan.
“Kau memang pemberani. Dan bodoh. Sangat bodoh. Itulah mengapa aku menyukaimu.”
Reece tersenyum. Thor tersenyum kembali kepadanya.
“Aku ingin berjumpa dengan ayahmu,” kata Thor. “Aku ingin punya kesempatan untuk menjelaskan kepadanya secara langsung, bahwa aku bukanlah pelakunya dan aku tak ada kaitan dengan ini semua. Jika ia memutuskan untuk menghukumku, maka biarlah. Tapi aku harus mendapat kesempatan ini. Aku ingin ia tahu. Itu saja yang aku minta darimu.”
Reece menatapnya sungguh-sungguh, berusaha memahami keinginan temannya. Akhirnya, setelah beberapa lama, ia mengangguk.
“Aku bisa membawamu kepadanya. Aku tahu sebuah jalan belakang yang menuju ke kamarnya. Ini sangat berisiko – dan saat kau berada di dalam, kau akan sendirian. Tak ada jalan keluar. Dan tak ada apapun yang bisa kulakukan untukmu saat itu. Bisa saja kau akan menemui kematianmu. Apa kau yakin mengambil risiko itu?”
Thor mengganggukkan kepala kuat-kuat dengan penuh keyakinan.
“Baiklah kalau begitu,” kata Reece, dan tiba-tiba ia melemparkan sebuah jubah ke arah Thor.
Thor menangkapnya dan merasa terkejut; ia sadar bahwa Reece telah merencanakan hal ini sebelumnya.
Reece tersenyum saat Thor menatapnya.
“Aku sudah tahu kau pasti akan sangat tolol dan memilih untuk tidak lari. Aku tak berharap banyak dari sahabatku.”
BAB EMPAT
Gareth mondar-mandir kamarnya, mengingat kembali peristiwa malam itu, dibanjiri kecemasan. Ia tidak percaya apa yang terjadi di perayaan itu, bagaimana semua sudah begitu keliru. Dia hampir tidak bisa memahami bahwa anak bodoh, orang asing itu Thor, entah bagaimana menangkap plot racunnya dan terlebih lagi, telah benar-benar berhasil menghadang cawan itu. Gareth kembali berpikir ke masa ketika ia melihat Thor menerobos masuk, menyambar jatuh cawan itu, ketika ia mendengar cawan itu mengenai batu, menyaksikan anggur tumpah ke lantai, dan melihat semua mimpinya tumpah bersama anggur itu.
Pada saat itu, Gareth telah hancur. Semua yang ia miliki selama hidup telah hancur. Dan ketika anjing itu menjilat-jilat anggur itu dan akhirnya mati - ia tahu ia sudah tamat. Ia melihat seluruh hidupnya melintas di depannya, melihat dirinya terpergok, dijatuhi hukuman seumur hidup di penjara bawah tanah karena mencoba membunuh ayahnya. Atau yang lebih buruk, dihukum mati. Itu adalah hal yang konyol. Ia seharusnya tidak pernah melakukan rencana itu, tidak pernah mengunjungi penyihir itu.
Gareth sudah, paling tidak, bertindak dengan cepat, mengambil sebuah kesempatan dan melompat berdiri dan menjadi yang pertama menyalahkan Thor. Mengingat kembali, ia bangga pada dirinya sendiri, betapa cepat ia bereaksi. Saat munculnya inspirasi itu, dan keheranan, nampaknya gagasan itu berhasil. Mereka menyeret Thor pergi, dan setelah itu, perayaan hampir dimulai lagi. Tentu saja, tidak akan ada yang sama setelah peristiwa itu, tapi paling tidak, kecurigaan nampaknya jatuh tepat pada anak itu
Gareth hanya berdoa semoga tetap seperti itu. Telah berlangsung selama beberapa dekade sejak percobaan pembunuhan terhadap MacGil, dan Gareth khawatir akan ada penyelidikan, bahwa mereka pada akhirnya akan menggali perbuatan itu lebih dalam lagi. Mengingat kembali, ia merasa bodoh sudah mencoba meracuninya. Ayahnya tidak terlihat. Gareth mestinya sudah mengetahui hal itu. Dia telah menjadi tidak terjangkau. Dan sekarang ia tidak bisa tidak merasa bahwa hanya masalah waktu sampai kecurigaan jatuh padanya. Ia akan harus melakukan sebisa mungkin untuk membuktikan Thor yang bersalah dan membuatnya dieksekusi sebelum terlambat.
Paling tidak Gareth sudah agak menebus dirinya: setelah percobaan yang gagal itu, ia telah membatalkan rencana pembunuhan itu. Sekarang, Gareth merasa lega. Setelah menyaksikan plotnya gagal, ia telah menyadari ada bagian dari dirinya, di lubuk terdalam, yang tidak ingin membunuh ayahnya, bagaimana pun ia tidak menginginkan darah ayahnya tertumpah di tangannya. Ia tidak akan menjadi raja. Ia tidak akan pernah menjadi raja. Tapi setelah peristiwa malam ini, ia telah menemukan penyelesaian. Paling tidak ia akan bebas. Ia mungkin tidak pernah bisa menangani tekanan mengalami semua hal ini lagi: rahasia itu, tipuan, terus-menerus cemas akan terpergok. Semua itu terlalu banyak untuknya.
Sebagaimana ia berjalan mondar-mandir, malam merayap lambat, akhirnya, perlahan-lahan, ia mulai tenang. Hanya sesaat ia mulai merasa kembali pada ditrinya sendiri, bersiap-siap untuk menyudahi malam, tiba-tiba sesuatu terjadi, dan ia berbalik untuk melihat pintu segera terbuka. Serta-merta Firth, membelalak, panik, bergegas masuk ke ruangan itu seolah-olah ia sedang dikejar.
"Dia mati!” Firth menjerit. "Dia mati! Aku membunuhnya. Dia sudah mati!"
Firth histeris, meraung, dan Gareth tidak punya gagasan apa dia bicarakan. Apakah ia mabuk?
Forth berlari ke sepanjang ruangan itu, menjerit, menangis, mengangkat tangannya - dan saat itulah Gareth melihat telapak tangannya, berlumuran darah, tunik kuningnya, bernoda merah.
Jantung Gareth berdetak kencang. Firth baru saja membunuh seseorang. Tapi siapa?
“Siapa yang mati?” desak Gareth. "Siapa yang kau bicarakan?"
Tapi Firth menjadi histeris, dan tidak bisa fokus. Gareth berlari ke arahnya, menyambar bahunya dengan kuat dan mengguncangnya.
"Jawab aku!"
Firth membuka matanya dan menatap, dengan mata seperti kuda liar.
"Ayahmu! Sang Raja! Ia meninggal! Oleh tanganku!"
Dengan kata-katanya, Gareth merasa seolah-olah pisau telah dijerumuskan ke dalam hatinya sendiri.
Ia kembali menatapnya, terbelalak, membeku, merasakan seluruh tubuhnya mati rasa. Ia melepaskan pegangannya, melangkah satu langkah mundur, dan berusaha mengambil napas. Ia bisa melihat dari semua darah itu bahwa Firth telah mengatakan yang sebenarnya. Ia bahkan tidak bisa memahaminya. Firth? Bocah dari kandang kuda? Yang berkemauan paling lemah dari seluruh teman-temannya? Membunuh ayahnya?
"Tapi...bagaimana mungkin?" Gareth tersentak. "Kapan?"
"Terjadi dalam kamarnya," kata Firth. "Baru saja. Aku menikamnya."
Kebenaran berita itu mulai menyeruak masuk, dan Gareth memperoleh kembali akalnya; ia menyadari pintunya yang terbuka, berlari ke arah pintu, dan membantingnya tertutup, memeriksa lebih dulu untuk memastikan tidak ada pengawal yang melihat. Untungnya, koridor itu kosong. Ia menarik palang besi berat di atas pimnu.
Ia segera kembali melintasi ruangan itu. Firth masih histeris, dan Gareth harus menenangkannya. Ia membutuhkan jawaban.
Ia meraih bahunya, memutarnya, dan menamparnya dengan cukup keras untuk membuatnya berhenti. Akhirnya, Firth fokus padanya.
"Katakan padaku segalanya," perintah Gareth dengan dingin. "Katakan padaku apa yang sesungguhnya terjadi. Mengapa kau melakukan hal ini?"






